Kulangkahkan kaki berlawanan arah dari aula menuju gedung sekolah menuju kelas dua dan berhenti di depan kelasku, ruangannya berubah menjadi lebih bagus serta memiliki penyejuk ruangan. Di sinilah awal aku dan Giri dipertemukan.
Dulu, seringkali tanpa disadari, aku dan Giri menopang dagu dengan posisi tangan yang sama kalau sedang memikirkan sesuatu, menyilangkan kaki saat sedang duduk santai dan terkadang menggerakkan kaki ketika makan siang di kantin sekolah. Kami juga sama-sama menyukai warna hitam dan oleh sebab itu teman-teman memberi julukan “Si Kembar”.
Sampai teman-teman menginginkan kisah kasih antara Kinanti dan Giri bersemi, kala itu di bulan Mei. Sudah berkali-kali menyangkal adanya hubungan istimewa di antara kami berdua, meskipun sejujurnya, aku telah menaruh hati padanya. Laki-laki itu membuat hatiku terasa nyeri setiap kali dia bersandar padaku. Rongga dada terasa sempit, ketika kami bersitatap dalam jarak dekat.
Tiba-tiba gawaiku berdering. Sebuah panggilan dari Tania, salah satu sahabatku.
“Yes!” jawabku semringah.
“Kinan, aku sudah di aula nih. Kau dimana?”
“Lagi melihat kelas kita, bestie. Aku ke sana sekarang, ya,” ucapku terkekeh seraya mengakhiri percakapan dan bergegas menghampirinya.
Tampak Tania sedang mengoborl bersama Giri dan dua orang lainnya. Aku mematung. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa melihat sosoknya kembali. Rambutnya terlihat lebih panjang. Laki-laki itu mengenakan kemeja hitam polos lengan panjang yang digulung sampai siku dan skinny jeans berwarna biru muda. Aku berjalan pelan seraya menghirup dan mengembuskan napas.
Giri menyadari kedatanganku. “Kin!!” panggilnya menyapaku.
“Hai!” balasku tersenyum.
“Kamu masih begini-begini saja,” ujarnya mencubit pipiku.
“Sapaan macam apa sih?!” cetusku cemberut.
“Wah, kalian sudah terpisah dua tahun tapi masih tetap sehati, ya?!” goda Tania menatap baju kami berdua. Berwarna hitam.
Aku memelototinya.
“Kau ketinggalan berita, Tan. Sekarang Giri sudah punya kekasih, sebentar lagi akan bertunangan,” ujar salah satu teman kami.
“Kau berisik sekali,” ujar Giri merangkul temannya seraya mengajak kami semua untuk masuk.
Ruang pikirku disesaki berbagai pertanyaan dan penyesalan tanpa henti. Aku melirik arloji dan mengumpat dalam hati, mengapa waktu terasa begitu lama hari ini? Lantas beranjak menuju pintu samping aula.
“Sorry!” ucap Giri mematikan rokok saat aku berdiri tak jauh darinya. “Aku senang kita bisa bertemu kembali,” ujarnya.
“Ya, aku juga,” jawabku terbata.
“Dulu, aku pernah menyukaimu, Kin,” akunya terkekeh.
Aku membisu tetapi relung jiwa riuh.
“Tetapi, aku mendengarnya sendiri kalau kamu hanya menganggapku sebagai teman. Jadi aku urung mengakuinya,” jelasnya.
Sesaat aku tertegun sementara jantung semakin berdebar, “Aku…juga sebenarnya pernah suka padamu, Gir, tetapi takut untuk mengutarakannya.” Akhirnya aku bisa berbicara dengan leluasa.
Laki-laki itu terperanjat.
Hening di antara kami. Lalu ia berdeham seraya berkata,”Semoga kelak kamu bahagia bersama laki-laki yang tepat, Kin.” Pria itu tersenyum.
“Ya, semoga begitu.” Di tengah hati yang luluh lantak, aku tersenyum. Getir.
***
Komentar
Posting Komentar